Kamis, 15 Desember 2011
SuaraBanyuurip.com - Ali Mahmudy
Bagi
hasil minyak dan gas bumi (Migas) antara pemerintah dengan kontraktor
kontrak kerja sama (KKS) sebaiknya tidak dipatok pada satu angka
tertentu. Melainkan disesuiakan dengan tingkat keekonomian proyek.
“Konsep
seperti ini akan meningkatkan daya tarik investasi,” kata Analis
Kebijakan Fiskal Perminyakan, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak
(OPEC), Benny Lubiantara, saat pemaparan di kantor BPMIGAS, Jakarta,
Senin (12/12) lalu.
Di Indonesia, split untuk produksi minyak
bumi antara pemerintah dan kontraktor adalah 85:15, sedangkan untuk gas
bumi 70:30. Menurut Benny, dengan tren eksplorasi dan eksploitasi migas
di kawasan timur dan laut dalam, split yang ditawarkan dengan baku
tersebut tidak menarik investor. Proyek dengan tingkat kesulitan,
teknologi, dan pembiayaan yang lebih tinggi, bagi hasilnya sama dengan
proyek yang “lebih mudah”.
Meningkatnya investasi, kata dia, bisa
menambah produksi migas di Indonesia. Penerimaan juga meningkat meski
bagi hasil lebih rendah.
“Untuk apa mendapat bagi hasil lebih besar yang berasal dari ‘kue’ yang kecil,” ujar Beny berilustrasi.
Di sisi lain, Benny melihat perlunya perusahaan migas nasional, yakni Pertamina diberi hak istimewa (privilege)
dalam pengelolaan migas di Indonesia. Diantaranya, prioritas dalam
penawaran wilayah kerja dan kontrak kerja sama yang berakhir jangka
waktunya. Dia mencontohkan keberpihakan pemerintah Brasil kepada
Petrobras dan Venezuela kepada PDVSA. Padahal, kepemilikan pemerintah
Brasil di Petrobras hanya 48 persen.
“Tidak ada alasan untuk tidak mendukung Pertamina,” tegasnya.
Yang
perlu diperhatikan, kata Benny, adalah masalah keuangan Pertamina.
Menjalankan banyak proyek-proyek besar dan strategis membutuhkan
pembiayaan yang tidak sedikit. Pemerintah diharapkan ikut membantu
mencari pendanaan yang dibutuhkan.
“Jangan sampai, proyek besar
yang dipercayakan ke Pertamina menjadi terbengkalai karena masalah
keuangan,” pungkasnya. (Bp. Migas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar